Sabtu, 13 Maret 2010

What is the difference between a HOME and a HOUSE ?

A home is not a mere transient shelter: its essence lies in the personalities of the people who live in it. -- H. L. Mencken

Bagi orang Amerika, ada makna yang berbeda dalam kata house dan home meskipun keduanya sama-sama memiliki arti rumah. Lafal house menyebutkan rumah sebagai sebuah struktur bangunan, sedangkan lafal home dimaknai sebagi orang-orang yang tinggal di rumah dan membuatnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk menjadi.

Home dapat berarti dimana saja Anda tinggal, baik di itu di rumah, mobil, gubuk, apartemen, kost-kostan, dll. Home adalah dimana hati terpaut disana. Anda dapat menyebut apartemen Anda sebagai home, tetapi tidak dapat menyebutnya sebagai house.

Agen real estate di USA terlatih untuk meminimalkan keterlibatan emosional dengan menyebut house ketika Anda akan menjual rumah Anda, tetapi ia akan memaksimalkan keterlibatan emosional untuk menyebut home ketika Anda akan membeli sebuah rumah.

Sabtu, 06 Maret 2010

Jenis-jenis Diam

Sesungguhnya diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam jadi emas, tapi ada pula dengan diam malah menjadi masalah. Semuanya bergantung kepada niat, cara, situasi, juga kondisi pada diri dan lingkungannya. Berikut ini bisa kita lihat jenis-jenis diam:

a. Diam Bodoh

Yaitu diam karena memang tidak tahu apa yang harus dikatakan. Hal ini bisa karena kekurangan ilmu pengetahuan dan ketidakmengertiannya, atau kelemahan pemahaman dan alasan ketidakmampuan lainnya. Namun diam ini jauh lebih baik dan aman daripada memaksakan diri bicara sok tahu.

b. Diam Malas

Diam jenis merupakan keburukan, karena diam pada saat orang memerlukan perkataannya, dia enggan berbicara karena merasa sedang tidak mood, tidak berselera atau malas.

c. Diam Sombong

Ini pun termasuk diam negatif karena dia bersikap diam berdasarkan anggapan bahwa orang yang diajak bicara tidak selevel dengannya.

d. Diam Khianat

Ini diamnya orang jahat karena dia diam untuk mencelakakan orang lain. Diam pada saat dibutuhkan kesaksian yang menyelamatkan adalah diam yang keji.

e. Diam Marah

Diam seperti ini ada baiknya dan adapula buruknya, baiknya adalah jauh lebih terpelihara dari perkataan keji yang akan lebih memperkeruh suasana. Namun, buruknya adalah dia berniat bukan untuk mencari solusi tapi untuk memperlihatkan kemurkaannya, sehingga boleh jadi diamnya ini juga menambah masalah.

f. Diam Utama (Diam Aktif)

Yang dimaksud diam keutamaan adalah bersikap diam hasil dari pemikiran dan perenungan niat yang membuahkan keyakinan bahwa engan bersikap menahan diri (diam) maka akan menjadi maslahat lebih besardibanding dengan berbicara.

Menulis di Atas Pasir

Kisah tentang 2 orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Ditengah perjalanan, mereka bertengkar dan salah seorang tanpa dapat menahan diri menampar temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir :
"hari ini, sahabat terbaik ku menampar pipiku"

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Namun, ternyata oasis tersebut cukup dalam sehingga orang yang kena tampar nyaris tenggelam, dan diselamatkanlah dia oleh sahabat yang menamparnya tadi. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu :
"hari ini, sahabat terbaik ku menyelamatkan nyawaku"

Si penolong yang pernah menampar sahabatnya tersebut bertanya,
"kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang setelah kuselamatkan kamu menulis di batu?"

Temannya sambil tersenyum menjawab:
"ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya diatas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila antara sahabat terjadi sesuatu kebajikan sekecil apa pun, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tetap terkenang tidak hilang tertiup angin waktu"

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu.

Harga Indonesia di mata dunia

Ini adalah tulisan dari Ustad Yusuf Mansyur, isinya simple tapi dalem. Mudah-mudahan bermanfaat.

2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dkt, saya cuma bawa 1 kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah. Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1 tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. Saya terbelalak dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si penjaga toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no... Bukan tas kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".


Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku? Segitunyakah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, begimana bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan perjalanan keluar negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya, gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh... Allah Punya Kuasa. Kalo DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Trnyata betul. Sekarang saya alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang. Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.

Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat saya menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir semua bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama "Jakarta" ga ada lagi di board penunjuk waktu. Yang ada: London, Paris, New York, dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala Lumpur! Sedang Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga ada lagi di board tersebut.

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita, kita semua tahu...

Setiap kali keluar kota dan keluar negeri, saya termasuk yang langka punya. Ga bawa duit, dan ga bawa kartu kredit. Bukan apa-apa, sebab biasanya saya dijemput langsung di pintu pesawat. Atau kalaupun tidak, dijemput di setelah lolos imigrasi. Oleh para penjemput di kota-kota atau negeri-negeri orang, saya sudah ditanggung beres. Jadi, uang yang saya bawa, benar-benar ga laku, he he he. Pengertian ga laku ini, hanya untuk menunjukkan ga terpakai. Sebab kalaupun saya bawa dollar, mereka-mereka menahan saya untuk bayar. Mereka saja yang berkhidmat.


Hingga satu waktu, saya jalan ke Singapore untuk keperluan pribadi. Berangkatlah saya sendiri, sebagaimana biasanya. Ya, saya senang berangkat sendirian. Sebab simple. Enteng. Ga banyak-banyak orang. Paling banter, berdua dg istri atau anak-anak. tapi ini pun jarang. Dan sampe di Singapore juga sendiri. Ga ada yang jemput. Sebab saya pun tidak mmberitahu kawan-kawan di sana. Sampe di Changi saya baru ingat, saya hanya bawa 2jt. Dan itu rupiah. Belum saya tukerin. Menjelang keluar bandara, saya laper, pengen cari cemilan dan kopi. Bergegaslah saya ke salah satu sudut, untuk beli yang saya maksud. Saya pikir, bisa lah skalian nuker seperti kalo belanja di Bangkok, Thailand. Eh, ternyata saya salah. "Indonesia?" , tanya pelayan toko. Ya, saya bilang. Indonesia. "Oh, sorry," katanya sambil muka nya ga enak gitu. "Your money didn't accepted here". Masya Allah! Lagi-lagi kayak ditampar saya ini. Uang rupiah ga diterima di sini.

Selanjutnya dia menunjukkan money changer di bandara. Saya mengurungkan niat saya untuk nyemil dan ngopi. tapi saya pura-pura mengiyakan akan menuju money changer. Dan subhaanallaah, kekagetan saya belom selesai. Si pelayan ini masih bersorry-sorry ria. Katanya, jagan kaget, rupiah rendah sekali katanya nilai tukarnya. Waaah, entahlah apa yang ada di benak saya...


Bahkan pengemispun tidak menerima rupiahku! Ya, itulah yang saya alami.satir. Mirip komedi satir. Lucu, tapi getir.

Antara 2004-2005, dalam 1 lawatan ke Eropa. Saya dkk turun di Frankfurt, German. Dari sini perjalanan ke beberapa negara di Eropa, dimulai. Sekian waktu , sampe lah kami di Belanda. Ada salah satu kawan di rombongan yang mmberi tahu betapa Indonesia sudah tidak ada. "Hatta," katanya, "Di tempat pelacuran, ada pengumuman agar para pelacur tidak menerima mata-mata uang yang ditaroh di list. Salah satunya rupiah!". Kawan saya ini berkata geli. Saya pun ikut tertawa. Tapi ngebatin. Ada segitunya ya.

Dari Belanda, kami pergi ke Belgia dan kemudian ke Perancis. Naik kereta super cepatnya Eropa. Enak, nyaman, dan menyenangkan. Turun di stasiun Perancis, kami dicegat oleh 1 pengemis perempuan. Cantik menurut ukuran saya mah. Sampe saya geleng2 kepala, kenapa dia mengemis. Kalo boleh saya bawa, mending saya bawa ke Jakarta, he he he. Trnyata dia mengaku Bosnia punya. Maksudnya, orang Bosnia. Sdg hamil pula. Entah bohong apa tidak. Salah satu kwn, memberinya rupiah. 200rb. Di Indonesia, 200rb ini bukan cuma besar. Tapi sangat besar. Niscaya kalo pengemis di tanah air diberi 200rb, akan sujud2 rasanya kpd yang mmberi. Dia pun saat itu trsenyum. Barangkali dia merasa kwn saya itu sdh mmberinya uang besar. Kwn saya pun senang melihat pengemis itu senang.

Lusanya, kami langsung balik ke Amsterdam, Belanda. Naik kereta lagi. Sampenya di stasiun, ketemu lagi dengan pengemis perempuan muda tersebut. Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia melihat
kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami dengan wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui kawan saya yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu dipulangin. Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper! Gila, saya bilang, uang kita disebutnya kertas toilet. Dia bercerita sambil membuat kawan-kawan terbahak-bahak. Katanya, dia berusaha menukar uang kita itu, tapi ga ada yang nerima. Barangkali semua kawan sama dengan saya, di selipan tawa kami, ada satu kegetiran, segitunyakah rupiah saya? Rupiah kita? Sampe pengemis saja ga menerimanya? Masya Allah. Bangkitlah wahai negeriku. Bangkitlah wahai negeriku.

Hampir di setiap events internasional, perhatian kita (untuk saya tidak mengatakan perhatian pemerintah), sangat-sangat kurang. Terbilang lumayan sering anak-anak Indonesia berprestasi memenangkan kompetisi-kompetisi internasional semacam olimpiade fisika, matematika, sains, bahasa dan lain-lain. Tapi sepi benar dari pemberitaan. Berita-berita buat bangsa kita tidak lagi ada, atau sedikit, yang mmbuat kita sendiri bangga. Barangkali seperti tulisan saya ini, he he he. Maaf ya. Tapi emang kenyataannya begini.

Saya pernah membaca ada seorang yang sangat pintar di negeri orang. Tapi katanya dia ga merasa dihargai di negeri sendiri. Akhirnya hasil penemuannya dipatenkan di negeri di mana dia belajar dan mengabdi, dan kemudian dia mendapatkan permanen residence dari negeri tsb.

Sekelompok kawan TKI di salah satu negara tujuan TKW, mengeluhkan juga tentang "perwakilan" mereka di negeri itu. Katanya, kita punya gedung sekian belas lantai. Tapi nothing buat kita! Begitu katanya. Wuah, miris juga saya dengar. Lihat terusan kalimatnya. "Sedangkan Philipina, hanya 2 lantai, itu pun ngontrak, tapi bangsanya bangga dengan kerja perwakilannya. Puas". Sedangkan kita, benar-benar payah. Kalau kita lapor (maksudnya itu TKW2), kita ga diperlakukan dg ramah. Malah jadi kayak jongos benar-benar. Mereka kemudian cerita, bangsa aslinya sendiri, ketika mereka datang mau mengadu, mereka duluan yang menyapa: What can I do for you...?". Ramah bener.

Yah, itu barangkali sekelumit hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi saya percaya, negeri kita masih diperhitungkan di dunia ini. Benarkah?

Siapa yang tidak bangga dengan Garuda? Maskapai Penerbangan Nasional yang menginternasional. Bangga. Sejarah Garuda demikian mengagumkan. Hingga ketika diri ini yang bangga dengannya menerima satu kenyataan. Kata seorang petinggi wilayah ketika saya menginap di kediamannya di Amstelvein, Belanda, Garuda tidak lama lagi tutup. Bukannya ga boleh terbang loh. Tapi tutup. Sebab tidak laku atau gimana lah. Ga ngerti. Beberapa tahun setelahnya, saya dikagetkan lagi dengan berita bahwa Garuda tidak diperkenankan melewati Eropa karena satu dua alasan. Bahkan di wilayah saudi pun bermasalah. Entahlah apa yang sedang terjadi. Saat tulisan ini dimuat, Garuda sudah berhasil melewati masa-masa sulit itu. Bahkan Garuda sudah menangguk keuntungan dari yang tadinya merugi. Dan Garuda pun menerima penghargaan internasional. Namun, ketika ada berita bahwa Garuda tutup dan Garuda dilarang terbang, rasanya teriris-iris hati ini. Tarbayang Garudaku yang gagah, yang jadi perlambang negeri ini, harus "menerima perlakuan" tidak hormat seperti itu. Terbanglah lagi Garudaku. Mengangsalah ke seluruh penjuru dunia. Supaya dunia tahu betapa gagahnya lambang negaraku.

Saya tersenyum kecut dengan dua berita yang turun dengan rentang waktu yang tidak berapa lama. Yaitu berita tentang petinggi kita yang kamarnya digeledah ketika berada di negeri orang. Dan yang satunya lagi, ketika diperiksa berlama-lama di imigrasi satu airport internasional. Lepas dari kenapa dan bagaimananya kisah di balik dua berita itu, bagi saya ya sekali2 memang petinggi kita kudu merasakan. Merasakan apa? Merasakan jadi warganya. Tidak jarang kami-kami juga diperlakukan demikian. Seenaknya saja mereka masuk kamar hotel kami dan memeriksa kami dengan satu alasan sederhana saja: Kami harus memeriksa Anda! Begitu saja. Ga ada penjelasan.

Di Australia, berapa kali saya harus melewati pemeriksaan yang -- hingga -- ikat pinggang saya pun hrs ditaroh di pemeriksaan. Tas-tas saya pun hrs dibuka dan cenderung bahasa seharusnya: diobrak-abrik. Lagi-lagi alasannya sederhana: Kami harus memeriksa Anda. Satu yang menyakitkan, mereka melihat wajah saya: Asia. Asia harus diperiksa. Lalu ditanyalah saya, darimana? Saya jawab dengan gagahnya: Indonesia. Eh tanpa dinyana, petugas membuka lembaran petunjuk, dia urut dengan jarinya, ketemu! Ya, katanya, Indonesia harus diperiksa. Ooo, rupanya dilembar cek-list itu, nama Indonesia masuk daftar negara yang orang-orangnya harus diperiksa. Subhaanallaah. Geram juga saya. Nanti, kata saya, kalau saya udah jadi Presiden, saya gituan dah dunia, he he he. Untunglah saya jauh jadi presiden. Kalo iya, udah perang terus kali bawaannya, ha ha ha. Perang urat syaraf. Betapa tidak, Bali saya periksa ketat seperti mereka memeriksa kita. Kamar-kamar mereka, tak geledah di sembarang waktu. Dan saya instruksikan supaya mata uang yang dipakai, hanya rupiah. Tak bikin peraturan, dolar dan lain-lainnya, kecuali real barangkali karena negeri dengan mekkah dan madinah, he he he, ga boleh masuk ke Indonesia. Mereka sudah harus nuker di negaranya masing-masing. Bakal dimusuhin sih, tapi biar saja. Wong presidennya kan saya, ha ha ha. Negara juga negara saya. Kalo ga suka, ya jangan masuk negara saya. Cuma, saya akan bikin dunia juga jadi perlu sama saya, jadi perlu sama Indonesia. Sehingga pasti mereka akan susah payah nurut, seperti hebatnya kita diam dan nurut diperlakukan oleh mereka!