Kamis, 09 September 2010

Belajar dari bocah

Mendengar adzan dzuhur berkumandang, bocah berbaju lusuh itu segera berlari ke arah mesjid sambil menenteng roti isi daging di tangan kanan dan es cendol di tangan kirinya. Dia menari-nari di hadapan orang-orang yang masuk ke mesjid sambil sesekali menyeruput es cendol dan mengunyah roti dagingnya. Itu adalah hal yang biasa jika yang dilakukan bocah itu tidak saat bulan Ramadhan. Setiap kali ada orang yang melewatinya, ia menyengir sinis seraya memamerkan roti dagingnya yang berwarna coklat menyala dan butiran es yang menetes dari bungkus plastik cendolnya. Setelah salat dzuhur berjamaah selesai, ia menghilang dari pelataran mesjid.

Fenomena munculnya bocah aneh itu baru terjadi saat Ramadhan kali ini dan langsung menjadi buah bibir masyarakat sekitar. Pasalnya, bocah itu bukanlah warga asli daerah situ dan tidak ada yang mengenalnya. Tidak sedikit orang yang merasa kesal melihat tingkah bocah itu. Namun sampai sekarang tidak ada yang kesampaian hati untuk menegurnya jika melihat kaki sang bocah yang penuh lumpur tanpa alas kaki dan bajunya yang lusuh tidak pernah diganti. Sampai suatu ketika, Fulan berniat menegur bocah itu karena tidak tahan melihat sikap bocah aneh itu.

Keesokan harinya, seperti biasa Fulan berangkat ke mesjid saat adzan dzuhur berkumandang. Di pelataran mesjid, bocah aneh itu telah menari-nari sambil membuka bungkus sekerat roti daging dan langsung menggigitnya. Dia juga menggoda jamaah mesjid dengan es cendol yang sepertinya sangat segar jika mengalir melalui kerongkongan pada siang itu. Fulan segera menghampiri bocah itu dan langsung menegurnya.

Bocah itu bertanya, “Mengapa tidak boleh dimakan? Ini kan kepunyaan saya”, mata si bocah menatap tajam ke arah Fulan sambil terus menggigit roti dagingnya. Fulan mencoba menerangkan dengan lembut, “Maaf ya, bukannya tidak boleh tapi kamu melakukannya di bulan puasa. Bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya menahan lapar dan haus, malah menggoda orang dengan tingkahmu ini...”, sebenarnya Fulan ingin mengomel lebih lama, namun kata-katanya disanggah bocah itu. “Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini kepada kami! Selama 11 bulan kalian selalu saja menggoda kami dengan segala kemewahan dunia yang kalian miliki. Ketika kami berjuang keras hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tenangnya kalian memainkan ponsel keluaran terbaru di hadapan kami. Saat kami mengais sesuap nasi dari tempat sampah, kalian memesan banyak makanan mahal dan tidak jarang kalian menyumpahi makanan tersebut hanya karena kebanyakan garam atau sedang tidak berselera makan.

Dan ketahuilah Tuan, justru kalianlah yang menyakiti kami di bulan Ramadhan ini! Saat bedug maghrib tiba, kami kembali tersiksa menatap kerakusan kalian. Bulan puasa hanyalah pergeseran waktu makan bagi kalian. Saat Idul Fitri tiba, kalian kembali memamerkan beragam kemewahan dengan baju baru yang mahal, sedangkan hanya baju ini satu-satunya yang kami gunakan untuk semua aktivitas. Kalian membeli sepatu baru yang mahal walau sepatu lama kalian masih dapat digunakan, sedangkan kaki-kaki kami tersiksa tanpa alas kaki. Rumah kalian dipenuhi makanan yang enak serta kue-kue yang mewah, tapi tidak pernah ada sedikitpun niat kalian untuk mengundang kami menikmati santapan di rumah kalian. 12 bulan kalian menyakiti kami, maka yang aku lakukan ini sebenarnya tidak ada apa-apanya bukan?”

Setelah itu si bocah pergi seiring selesainya salat dzuhur. Fulan masih saja terdiam saat memahami pesan yang hendak disampaikan bocah itu. Ia melafadzkan istigfar sebanyak-banyaknya. Kakinya gontai menuntun tubuhnya untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan salat dzuhur. Setelah kejadian itu, ia tidak lagi melihat bocah itu menari-nari di pelataran mesjid tiap adzan dzuhur. Lambat laun, cerita tentang bocah aneh itu pun menghilang dari kampung si Fulan. Namun Fulan mendapat pelajaran luar biasa darinya. Dia selalu menceritakan pengalamannya bersama bocah “misterius” itu kepada orang lain agar setiap orang bisa mengambil hikmah bulan suci Ramadhan yang sesungguhnya. Semoga kita dapat menjadikan 11 bulan lainnya seperti bulan Ramadhan, menahan nafsu duniawi, saling berbagi kepada sesama, empati atas penderitaan saudara-saudara kita. Wallahualam bis shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar