Di Nepal pun demikian
Stasiun televisi di Nepal memprotes kebijakan pemadaman listrik dengan melakukan siaran berita dalam gelap. Sejak Februari lalu, stasiun televisi Kantipur Television mengunakan lentera minyak tanah sebagi penerang bagi pembaca buletin berita yang disiarkan pukul 7 malam waktu setempat.
Kepala pemberitaan Kantipur mengatakan langkah itu dilakukan sebagai tekanan bagi pemerintah agar mengatasi masalah kelistrikan. Setiap hari selama 12 jam penduduk Nepal mengalami pemadaman listrik.
"Kami ingin pemerintah meningkatkan produksi listrik secepatnya. Sejauh ini kami mendapatkan respon positif dari penonton kami, tetapi tidak ada reaksi dari pemerintah," kata kepala pemberitaan Kantipur, Tirtha Koirala kepada "BBC".
Saat ini Nepal hanya mampu memproduksi listrik kurang dari separuh kebutuhan penduduk negara itu, dan perdebatan tentang pentingnya pembangunan pembangkit listrik tenaga air masih terjadi.
Selama 10 tahun konflik antara pemberontak Maoist dan pemerintah, yang berakhir pada 2006 lalu, diketahui investasi di sektor kelistrikan di negara itu hanya sedikit. Selain itu, menurunnya pasokan listrik di negara itu juga akibat dari hancurnya jalur transmisi listrik ketika terjadi banjir di sungai Kosi, 2008 lalu.
Para pelajar di Nepal menggunakan lilin untuk belajar di malam hari. Untuk menghemat listrik, pemerintah melakukan pemadaman listrik di sebagian wilayah negara itu setiap harinya.
Masalah besar terjadi pada saat musim dingin tiba, akibat curah hujan yang rendah dan menurunnya debit air di sungai membuat pembangkit listrik tenaga air tidak dapat beroperasi secara maksimal.
Pejabat perusahaan pembangkit listrik milik pemerintah mengatakan dalam beberapa pekan mendatang pemadaman listrik akan dilakukan setidaknya 14 jam sehari. "Kami mengalami sangat menderita karena beban yang besar," kata Koirala.
"Sekitar 400.000 pelajar akan menempuh ujian dan mereka belajar tanpa penerangan listrik pada sore hari. Juga perusahaan kecil dan menengah yang tidak memiliki generator tidak dapat beroperasi," katanya.
Koirala mengatakan program buletin berita akan terus melakukan siaran dalam gelap sampai ada respons dari pemerintah.
"Kami ingin pemerintah meningkatkan produksi listrik secepatnya. Sejauh ini kami mendapatkan respon positif dari penonton kami, tetapi tidak ada reaksi dari pemerintah," kata kepala pemberitaan Kantipur, Tirtha Koirala kepada "BBC".
Saat ini Nepal hanya mampu memproduksi listrik kurang dari separuh kebutuhan penduduk negara itu, dan perdebatan tentang pentingnya pembangunan pembangkit listrik tenaga air masih terjadi.
Selama 10 tahun konflik antara pemberontak Maoist dan pemerintah, yang berakhir pada 2006 lalu, diketahui investasi di sektor kelistrikan di negara itu hanya sedikit. Selain itu, menurunnya pasokan listrik di negara itu juga akibat dari hancurnya jalur transmisi listrik ketika terjadi banjir di sungai Kosi, 2008 lalu.
Para pelajar di Nepal menggunakan lilin untuk belajar di malam hari. Untuk menghemat listrik, pemerintah melakukan pemadaman listrik di sebagian wilayah negara itu setiap harinya.
Masalah besar terjadi pada saat musim dingin tiba, akibat curah hujan yang rendah dan menurunnya debit air di sungai membuat pembangkit listrik tenaga air tidak dapat beroperasi secara maksimal.
Pejabat perusahaan pembangkit listrik milik pemerintah mengatakan dalam beberapa pekan mendatang pemadaman listrik akan dilakukan setidaknya 14 jam sehari. "Kami mengalami sangat menderita karena beban yang besar," kata Koirala.
"Sekitar 400.000 pelajar akan menempuh ujian dan mereka belajar tanpa penerangan listrik pada sore hari. Juga perusahaan kecil dan menengah yang tidak memiliki generator tidak dapat beroperasi," katanya.
Koirala mengatakan program buletin berita akan terus melakukan siaran dalam gelap sampai ada respons dari pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar